Menjadi Hamba Allah Yang Sejati
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Kesempurnaan makhluk (manusia) adalah
dengan merealisasikan al-‘ubudiyyah (penghambaan diri) kepada Allah."
Penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atau al-‘ubudiyyah adalah kedudukan manusia yang paling tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena dalam kedudukan ini, seorang manusia benar-benar menempatkan dirinya sebagai hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang penuh dengan kekurangan, kelemahan dan ketergantungan kepada Rabb-nya, serta menempatkan dan mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb yang maha sempurna, maha kaya, maha tinggi dan maha perkasa.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ}
“Wahai manusia, kamulah yang bergantung dan butuh kepada Allah;
sedangkan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi
Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa manusia pada zatnya butuh dan bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
memenuhi kebutuhan mereka lahir dan batin, dalam semua arti kebutuhan
dan ketergantungan, baik itu disadari oleh mereka maupun tidak. Oleh
karena itu, hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beriman
dan selalu mendapat limpahan taufik-Nya, mereka selalu mempersaksikan
ketergantungan dan kebutuhan ini dalam semua urusan dunia maupun agama.
Maka mereka selalu merendahkan diri dan memohon dengan sungguh-sungguh
agar Dia Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menolong dan memudahkan
segala urusan mereka, serta tidak menjadikan mereka bersandar kepada
diri mereka sendiri meskipun hanya sekejap mata[1 Sebagaimana doa yang
diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan ini termasuk
doa yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan petang: “… (Ya
Allah!) jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan
diriku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata” HR
an-Nasa-i (6/147) dan al-Hakim (no. 2000), dishahihkan oleh al-Hakim,
disepakati oleh adz-Dzahabi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam
“Silsilatul ahaaditsish shahihah” (1/449, no. 227)]. Mereka inilah yang
selalu mendapatkan pertolongan dan limpahan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Kesempurnaan makhluk (manusia) adalah dengan merealisasikan al-‘ubudiyyah (penghambaan diri) kepada Allah, dan semakin bertambah (kuat) realisasi penghambaan diri seorang hamba (kepada Allah Ta’ala) maka semakin bertambah pula kesempurnaannya (kemuliaannya) dan semakin tinggi derajatnya (di sisi Allah Ta’ala).
Dan barangsiapa yang menyangka (dengan keliru) bahwa seorang hamba
bisa saja keluar dari penghambaan diri kepada Allah (tidak terkena
kewajiban beribadah kepada Allah Ta’ala) dalam satu sisi, atau
(dia menyangka) bahwa keluar dari penghambaan diri itu lebih sempurna
(utama), maka dia termasuk orang yang paling bodoh bahkan paling sesat”.
Makna dan hakikat al-‘ubudiyyah
al-‘Ubudiyyah (penghambaan diri) atau ibadah adalah sesuatu
yang menghimpun rasa cinta yang utuh disertai sikap merendahkan diri
yang sempurna. Maka tidaklah dikatakan suatu perbuatan sebagai ibadah atau penghambaan diri jika tidak disertai dua hal ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ibadah atau penghambaan diri
mengandung kesempurnaan dan puncak kecintaan serta kesempurnaan dan
puncak (sikap) Menghinakan (merendahkan diri). Sehingga sesuatu yang
dicintai tapi tidak diagungkan dan merendahkan diri kepadanya maka
tidaklah (disebut sebagai) sesembahan (sesuatu yang diibadahi).
Sebagaimana sesuatu yang diagungkan tapi tidak dicintai maka tidaklah
(disebut sebagai) sesembahan (sesuatu yang diibadahi). Oleh karena itu,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
{ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ
اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا
أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ }
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah” (QS al-Baqarah: 165)”.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak ada jalan menuju (keridhaan) Allah yang lebih dekat dari (jalan) al-‘Ubudiyyah (penghambaan diri kepada Allah Ta’ala)
dan tidak ada hijab (penghalang menuju keridhaan-Nya) yang lebih tebal
dari pengakuan (membanggakan dan kagum dengan diri sendiri). Penghambaan
diri berporos pada dua patokan yang merupakan landasan al-‘Ubudiyyah, (yaitu) kecintaan yang utuh dan penghinaan diri yang sempurna (kepada Allah Ta’ala).
Kedua lndasan ini tumbuhnya dari dua pokok utama, yaitu mempersaksikan (besarnya) anugrah dan kurunia (dari Allah Ta’ala bagi
hamba-Nya, dalam memudahkan segala kebaikan dan melindungi dari semua
keburukan), yang ini akan menumbuhkan rasa cinta (kepada Allah Ta’ala), dan mempersaksikan (besarnya) kekurangan diri hamba dan ketidaksempurnaan amalnya, yang ini akan menimbulkan (sikap) merendahkan diri yang sempurna (kepada Allah Ta’ala)”.
Imam al-Qurthubi berkata: “Barangsiapa yang (selalu) taat dan
beribadah kepada Allah, menyibukkan pendengaran, penglihatan, lisan dan
hatinya dengan perintah-Nya, maka dialah yang paling berhak
(mendapatkan) nama al-‘Ubudiyyah (hamba Allah sejati). Dan barangsiapa yang melakukan kebalikan dari (semua) itu, maka dia termasuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ}
“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (QS al-A’raaf: 179).
Inilah kedudukan mulia yang diminta oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam doa beliau Shallallahu’alaihi Wasallam:
“Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai
orang miskin, dan kumpulkanlah aku di dalam golongan orang-orang miskin
pada hari kiamat”.
Arti “orang miskin” dalam hadits ini adalah orang yang selalu merendahkan diri, tunduk dan khusyu’ kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah sifat yang menjadikan sempurna penghambaan diri manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan inilah yang menjadikan bertingkat-tingkatnya kedudukan dan keutamaan manusia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sehingga seorang hamba yang kelihatannya banyak berbuat kebaikan dan
amal shaleh tapi di dalam hatinya tidak terdapat hakikat penghambaan
diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan sebaliknya, dia bersifat sombong, bangga diri dan lupa menisbatkan taufik kebaikan yang dikerjakannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hamba ini adalah hamba yang buruk dan tidak diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Imam Ahmad menukil dari salah seorang ulama Salaf, bahwa ada seorang
laki-laki yang berkata kepada ulama ini: Sungguh aku melaksanakan shalat
lalu aku menangis (tersedu-sedu) sampai-sampai hampir (bisa) tumbuh
sayuran karena (derasnya) air mataku. Maka ulama inipun berkata
kepadanya: “Sungguh jika kamu tertawa tapi kamu mengakui dosa-dosamu
lebih baik dari pada kamu menangis tapi kamu menyebut-nyebut
(membanggakan) amalmu, karena sesungguhnya shalat orang yang
menyebut-nyebut (membanggakan amalnya) tidak akan naik ke atas (tidak
diterima/diridhai Allah Ta’ala)”.
Inilah makna ucapan yang dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dari salah
seorang ulama Salaf yang berkata: “Sungguh ada seorang hamba yang
melakukan perbuatan dosa (tapi) karena dosa itu dia masuk Surga, dan ada
seorang hamba (lain) yang melakukan kebaikan (tapi) karena kebaikan itu
dia masuk Neraka”. Orang-orang bertanya (dengan keheranan): Bagaimana
(itu bisa terjadi)?
Ulama tersebut berkata: “Hamba yang berbuat dosa, lalu (setelah itu)
dosa tersebut selalu ada di hadapan kedua matanya karena dia takut (dan)
khawatir (dirinya akan binasa), (maka dia selalu) menangis, menyesali
(perbuatan dosa itu), merasa malu kepada Allah Ta’ala,
menundukkan kepala di hadapan-Nya, dan merasa hatinya remuk di
hadapan-Nya. Maka dosa (yang diperbuatnya) itu lebih bermanfaat bagi
hamba ini dari pada banyak amal ketaatan, karena dampak yang muncul
setelah itu berupa hal-hal (sikap takut dan merendahkan diri/
penghambaan diri yang sempurna) yang dengan itulah seorang hamba
(meraih) kebahagiaan dan keberuntungan (di dunia dan akhirat). Sehingga
dosa yang dilakukannya (justru) menjadi sebab dia masuk Surga.
Sedangkan hamba yang melakukan kebaikan, (tapi) setelah itu dia
selalu menyebut-nyebut kebaikan tersebut di hadapan Allah, merasa
sombong, bangga, merasa dirinya besar dengan kebaikan tersebut dan dia
berkata: aku telah melakukan banyak kebaikan. Maka kebaikan tersebut
(justru) menimbulkan (sifat) sombong, bangga diri dan angkuh yang
menjadi sebab kebinasaannya (karena dia tidak merendahkan dirinya di
hadapan Allah), padahal Dialah yang memudahkan bagi hamba tersebut untuk
melakukan kebaikan itu”.
Orang yang paling sempurna penghambaan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Mereka adalah orang-orang yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
utuh dan sempurna, sehingga mereka selalu bersegera dan
berungguh-sungguh dalam mengerjakan amal shaleh dan mendekatkan diri
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bersamaan dengan itu, mereka
tetap menundukkan diri dan meyakini ketergantungan diri mereka
kepada-Nya, dengan selalu berharap dan takut kepada-Nya.
Allah Ta’ala memuji para Nabi dan Rasul-Nya dengan sifat ini dalam firman-Nya:
{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera
dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu)
berdoa kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah
orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah)” (QS al-Anbiyaa’: 90).
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang shaleh dalam firman-Nya:
{تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ}
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (karena mereka selalu
mengerjakan ibadah dan shalat ketika manusia sedang tertidur di malam
hari), sedang mereka berdoa kepada Allah dengan rasa takut dan harap,
dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka” (QS as-Sajdah: 16).
Juga tentang sifat-sifat mulia para Shahabat radhiallahu’anhum dalam firman-Nya:
{مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ
أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا
سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا، سِيمَاهُمْ فِي
وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ}
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dia (para Shahabat radhiallahu’anhum) bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat
mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya.
Tanda-tanda meraka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” (QS al-Fath: 29).
Imam Mujahid dan beberapa ulama ahli tafsir lainnya berkata tentang
makna “tanda-tanda pada wajah mereka” dalam ayat ini: “Yaitu Khusyu’
(dalam shalat) dan tawadhu’ (sikap merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala)”.
Inilah makna al-‘ubudiyyah al-khaashshah (penghambaan diri yang khusus) yang dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an, dengan mereka disebut sebagai ‘hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sejati’ dan digandengakan-Nya mereka dengan nama-Nya yang maha mulia, yang mana penggandengan ini mengandung arti “idha-fatu at-tasriif” (kemuliaan dan keagungan) bagi mereka.
Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyebut Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai hamba-Nya:
{سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا
مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي
بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ}
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi
Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam) pada suatu malam dari Al-Masjidil
Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS al-Israa’: 1).
Juga firman-Nya:
{أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ}
“Bukankan Allah cukup untuk melindungi hamba-Nya (Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam)?” (QS az-Zumar: 36).
Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah manusia yang paling sempurna dalam menunaikan penghambaan diri dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana sifat ini juga yang Allah jadikan sebagai kemuliaan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa kepada-Nya dalam firman-Nya:
{وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ
عَلَى الأرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا.
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا}
“Dan hamba-hamba (Allah) Yang Maha Penyayang itu (ialah)
orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan. Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan
bersujud dan berdiri (melksanakan shalat malam) untuk Rabb mereka (Allah
Ta’ala)” (QS al-Furqaan: 63-64).
Sombong dan membanggakan diri, perusak al-‘ubudiyyah
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Tidaklah masuk Surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan
(meskipun) seberat biji debu”. Ada yang bertanya: (Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam), sesungguhnya (setiap) orang senang memakai baju yang bagus dan alas kaki yang indah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya
Allah Maha Indah dan Dia mencintai keindahan, kesombongan itu adalah
menolak kebenaran (karena congkak) dan merendahkan manusia“.
Hadits ini menunjukkan bahwa sifat sombong dan membanggakan diri
merupakan sifat yang sangat tercela, bahkan bertentangan dengan sifat al-‘ubudiyyah yang hakikatnya adalah sikap merendahkan diri dan ketundukan yang sempurna kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Hakikat Islam adalah
kepasrahan (dan ketundukan diri) seorang muslim (hanya) kepada Allah dan
bukan kepada selain-Nya. Karena orang yang memasrahkan diri kepada
Allah dan (juga) kepada selain-Nya (maka) dia adalah seorang musyrik (berbuat syirik/menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala), sebagaimana orang yang menolak (agama) Islam (maka) dia adalah musyrik.
Inilah hakikat (agama) Islam yang diturunkan oleh Allah kepada para Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam dan
dalam kitab-kitab-Nya. Yaitu kepasrahan (dan ketundukan diri) seorang
hamba (hanya) kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya. Maka orang yang
memasrahkan diri kepada Allah dan (juga) kepada selain-Nya (maka) dia
adalah seorang musyrik (berbuat syirik/menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala), sebagaimana orang yang menolak (agama) Islam (maka) dia adalah orang yang menyombongkan diri.
Dalam hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (beliau bersabda) bahwa “Surga tidak akan dimasuki oleh orang yang dalam hatinya ada kesombongan (meskipun) seberat biji debu“.
Sebagaimana Neraka tidak akan dimasuki oleh orang yang dalam hatinya
ada keimanan (meskipun) seberat biji debu. Maka (dalam hadits ini)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan sifat sombong sebagai lawan dari keimanan, karena sesungguhnya sifat sombong itu meruntuhkan hakikat al-‘ubudiyyah (penghambaan diri seorang hamba). Sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda: Allah berfirman: “Keagungan
adalah sarung-Ku dan kebesaran adalah selendang-Ku, maka barangsiapa
melawan-Ku (dengan merasa memiliki) salah satu dari kedua sifat itu maka
Aku akan mengazabnya“.
Maka sifat keagungan dan kebesaran termasuk sifat-sifat yang khusus (dalam) rububiyah Allah
(sifat-sifat Allah, seperti menciptakan, mengatur dan menguasai alam
semesta beserta isinya). Dan sifat kebesaran lebih tinggi dari sifat
keagungan, oleh karena itu, sifat kebesaran dijadikan pada kedudukan
selendang, sebagaimana sifat keagungan dijadikan pada kedudukan sarung.
Oleh karena itu, seorang hamba yang selalu merendahkan diri dan mengakui kelemahan serta kekurangan dirinya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih baik dan lebih mulia dari pada seorang yang selalu membanggakan dirinya meskipun amal ibadahnya terlihat banyak.
Imam Mutharrif bin ‘Abdillah bin asy-Syikhkhiir berkata:
“Sungguh jika aku tertidur di malam hari tapi aku (bangun) di pagi hari
dalam keadaan menyesali (dosa-dosaku) lebih aku sukai dari pada aku
berdiri (beribadah) di malam hari tapi ketika di pagi hari aku bangga
(dengan diriku sendiri)”. Imam adz-Dzahabi menukil ucapan beliau ini,
lalu beliau mengomentari: “Demi Allah, tidak akan beruntung orang yang
menganggap dirinya suci atau bangga dengan dirinya sendiri”.
Penutup
Allah Ta’ala berfirman menjelaskan sifat hamba-hamba-Nya yang telah menyempurnakan sifat al-‘ubudiyyah sehingga mereka meraih predikat takwa kepada-Nya:
{تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا
لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً
وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ}
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak
ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi,
dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang
bertakwa” (QS Al Qashash:83).
Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Jika mereka (orang-orang yang
disebutkan dalam ayat ini) tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan
diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, maka
konsekwensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju kepada Allah,
tujuan mereka (hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat, dan
keadan mereka (sewaktu di dunia): selalu merendahkan diri kepada
hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan
mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan
mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allah Subhanahu wa Ta’ala)”.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan taufik-Nya
kepada kita semua untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketaatan
kepada-Nya yang merupakan sebab keberuntungan kita di dunia dan akhirat,
aamiin.
Sumber : muslim.or.id